Latar Belakang HUMANIORA
Sejarah Humaniora
Penelusuran atas pengertian humaniora dalam sejarah peradaban umat manusia menjadi salah satu titik tolak yang sangat penting. Woodhouse (2002:1) dalam artikelnya yang berjudul The Nature of Humanities: Historical Perspektive menegaskan bahwa istilah humaniora yang berasal dari program pendidikan yang dikembangkan Cicero, yang disebutnya humanitas sebagai faktor penting pendidikan untuk menjadi orator yang ideal. Penggunaan istilah humanitas oleh Cicero mengarah pada pertanyaan tentang makna dalam cara lain bahwasanya pengertian umum humanitas berarti kualitas, perasaan, dan peningkatan martabat kemanusiaan dan lebih berfungsi normatif daripada deskriptif (Sastrapratedja, 1998:1).
Gellius mengidentikkan humanitas dengan konsep Yunani paideia, yaitu pendidikan (humaniora) yang ditujukan untuk mempersiapkan orang untuk menjadi manusia dan warga Negara yang bebas. Pada zaman Romawi gagasan tersebut dikembangkan menjadi program pendidikan dasariah. Beralih pada zaman Pertengahan pendidikan humaniora berusaha menyatukan konsep paideia dengan kekristenan. Ketika memasuki zaman Renaissance, para humanis Italia menghidupkan kembali istilah humanitas, sebagaimana dipakai oleh Cicero, dan menjadi studi humanitas, yang mencakup gramatika, retorika, puisi, sejarah, dan filasfat. Ketika itu dibedakan antara apa yang dianggap Kekristenan dan apa yang dianggap secara otentik merupakan esensi kemanusiaan. Oleh karena itu kemudian berkembang perbedaan antara studi divinitas dan studi humanitatis (Sastrapratedja, 1988:2)
Pada zaman modern, pengertian humanitas kemudian berkembang ke dalam dua makna khusus, yaitu:
- Mengacu pada perasaan kemanusiaan dan tingkah lakuyang mengarah pada hal-hal seperti: kelemahlembutan, penuh pertimbangan, kebajikan.
- Tujuan pendidikan liberal sebagaimana yang diformulasikan John Henry Newman dalam gagasan tentang sebuah universitas.
Humanitas juga mengacu pada perkembangan intelektual dan pelatihan intelektual atau proses dan tujuan utama pendidikan liberal. Selanjutnya da;am sistem pendidikan di Barat dikenal istilah artes liberales (liberal arts) dan di lingkungan Anglo-Saxon disebut “humanities”. Pendidikan humaniora dianggapmempunyai fungsi pengembangan “humanitas” dalam diri manusia (Woodhouse, 2002:2). Meskipun pada zaman Aufklarung humaniora banyak dikritik, tetapi program itu tetap menjadi dasar pendidikan pada abad ke-18 dan 19. Pada awal abad ke-19, ditekankan perbedaan antara ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu alam. Dilthey membagi ilmu menjadi dua kelompok yakni Natuurwissenschaft dan Geisteswissenschaft (Rizal Mustansyir, 2003: 124). Setelah itu humaniora tidak lagi dipandang sebagai dasar dari program pendidikan, tetapi lebih dilihat sebagai dimensi fundamental dari dunia pengetahuan manusia.
Dewasa ini pengertian humanities menurut Woodhouse (2002: 4) merupakan sekelompok disiplin pendidikan yang isi dan metodenya dibedakan dari ilmu-ilmu fisik dan biologi, dan juga paling tidak dibedakan dengan ilmu-ilmu sosial. Kelompok studi humanities meliputi bahasa, sastra, seni, filasfat, dan sejarah. Disini inti humanitas kadangkala ditentukan sebagai sekolah atau bagian dari sebuah universitas modern. Keadaan yang mirip berlaku pula di Indonesia. Dalam sebuah artikel Indonesia’s International Conference on Cultural Studies (2002:1) dikemukakan bahwa bidang humaniora sebagaimana halnya ilmu sosial telah berperan dan menjadi saksi nyata perkembangan fenomenal dari suatu paradigma baru dari ilmu-ilmu budaya. Paradigma baru ini mencoba memahami secara kritis bagaimana gerak budaya, dan dasar kekuatannya terletak pada karya di balik praktek-praktek budaya. Di Indonesia meskipun unsur-unsur studi budaya telah membuka atau meratakan jalan masuk ke dalam kurikulum beberapa program studi di bidang ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial, juga aktivitas berbagai kelompok peneliti independen, namun sebagian besar masih dipahami sebagai sisi luar dari body of knowledge. Kendatipun demikian dengan kehadiran globalisasi yang disertai dampak-dampak yang ditimbulkannya atas dunia, ada tuntutan kuat agar ilmu-ilmu budaya di Indonesia dikembangkan lebih serius. Dengan demikian ilmu budaya dapat memperdayakan ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial dalam lingkup yang lebih luas. Sastrapratedja (1998: 2-3) menegaskan bahwa humaniora pada abad XX mengalami perubahan yang mendalam dalam sistem pendidikan di Barat dikarenakan beberapa faktor seperti: proliferasi ilmu-ilmu pengetahuan alam pada abad XX; perkembangan ilmu pengetahuan menuntut adanya spesialisasi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan; perkembangan ilmu-ilmu perilaku (behavioral sciences) dan ilmu-ilmu sosial yang berbeda dari humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan; universitas semakin menjadi institusi yang berorientasi profesionalitas. Mahasiswa belajar di Universitas untuk menjadi seorang profesional yang akan memperoleh pekerjaan. Universitas cenderung menjadi pragmatis dan lebih cenderung memenuhi kebutuhan pasar.
Hal yang sama dapat pula dirasakan kecenderungannya di Indonesia, terlebih lagi dengan dicanangkannya otonomisasi kampus terasa kuatnya orientasi pasar, sehingga sebuah fakultas akan dihargai kualitas akademiknya manakala alumninya berhasil memasuki dunia kerja dengan masa tunggu yang relatif singkat. Disini sudah tidak dipersoalkan lagi seberapa besar peran bidang humaniora di dalam membentuk kualitas akademik seorang lulusan, yang ditonjolkan justru ia lulusan dari fakultas x dan memiliki keahlian dalam bidang x.
KARAKTERISTIK ILMU HUMANIORA
Humaniora merupakan studi yang memusatkan perhatiannya pada kehidupan manusia, menekankan unsur kreativitas, kebaharuan, orisinalitas, keunikan, Humaniora berusaha mencari makna dan nilai, sehingga bersifat normatif. Dalam bidang humaniora rasionalitas tidak hanya dipahami sebagai pemikiran tentang suatu objek atas dasar dalil-dalil aka, tetapi juga hal-hal yang bersifat imajinatif, sebagai contoh: Leonardo da Vinci mampu menggambar sebuah lukisan yang mirip dengan bentuk helikopter jauh sebelum ditemukannya helikopter. Humanities sebagai kelompok ilmu pengetahuan mencakup bahasa baik bahasa modern maupun klasik, linguistik, kesusastraan, sejarah, kritisisme, teori dan praktek seni, dan semua aspek ilmu-ilmu sosial yang memiliki isi humanitis dan menggunakan metode humanitis. J. Drost (2002: 2) dalam artikelnya di KOMPAS, Humaniora, mengatakan bahwa bidang humaniora yang menjadikan manusia (humanus) lebih manusiawi (humanior) itu, pada mulanya adalah trivium yang terdiri atas gramatika, logika, dan retorika. Gramatika (tata bahasa) bermaksud membentuk manusia terdidik yang menguasai sarana komunikasi secara baik. Logika bertujuan untuk membentuk manusia terdidik agar dapat menyampaikan sesuatu sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti dan masuk akal. Retorika bertujuan untuk membentuk manusia terdidik agar mampu merasakan perasaan dan kebutuhan pendengar, dan mampu menyesuaikan diri dan uraian dengan perasaan dan kebutuhan itu.
Kemudian dari Trivium berkembang ke quadvirium yaitu geometri, aritmatika, musik (teori akustik), dan astronomi. Drost menegaskan bahwa seorang mahasiswa harus memiliki kematangan baik intelektual maupun emosional, agar dapat menempuh studi akademis. Teras kematangan itu adalah kemampuan bernalar dan bertutur yang telah terbentuk. Mahasiswa yang siap mulai studi di perguruan tinggi adalah dia yang dapat mengendalikan nalar, yaitu dia yang kritis. Seorang yang kritis adalah seorang yang antara lain mampu membedakan macam-macam pengertian dan konsep, sanggup menilai kesimpulan-kesimpulan tanpa terbawa perasaan.
DIMENSI FILOSOFIS DALAM HUMANIORA
Ada empat pilarfilsafat yang dapat dijadikan pertimbangan dalam humaniora, yaitu metafisika, epistemologi, logika, dan etika. Metafisika merupakan cabang filsafat yang berupaya memformulasi kategori-kategori yang paling umum dan luas tentang realitas. Metafisika umum sering disebut ontologi, metafisika khusus meliputi filsafat manusia (antropologi), filasafat kealaman (kosmologi), dan filsafat ketuhanan (Theologi) (Bakker, 1992:18). Filsafat manusia berperan penting dalam humaniora untuk mengembangkan dimensi kemanusiaan dalam konteks sejauh mana relasi antara jiwa dan raga dalam membentuk kepribadian manusia yang utuh. Spiritualitas dan materialitas merupakan dua komponen yang menyatu dalam diri manusia, sehingga memisahkan salah satu dari keduanya hanya akan menghilangkan kepribadian manusia yang sejati.
Bidang epistemologi merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang terbentuknya struktur pengetahuan dalam diri manusia. Pengetahuan manusia dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filosofis, dan pengetahuan agama. Keempatnya memiliki karakteristik tersendiri dan memainkan peranan penting bagi pembentukan dimensi kemanusiaan. Pengetahuan biasa akan membentuk akal sehat (common sense) manusia sebatas pengalaman sehari-hari yang oa temukan. Pengetahuan ilmiah akan membentuk rasionalitas yang memenuhi kaidah-kaidah standar (metodologis) dalam suatu komunitas ilmiah. Pengetahuan filosofis akan membentuk sikap reflektif terhadap diri dan situasi yang mengitari diri manusia. Pengetahuan agama akan membentuk kepribadian yang memiliki visi dunia dan akhirat secara seimbang.
Bidang logika merupakan studi penyimpulan (inference) yang mengajarkan manusia tentang cara menalar (reasoning) yang baik. Logika adalah tools of thingking, sarana untuk berfikir secara jernih sehingga diperoleh kesimpulan yang valid. Dalam logika ditekankan bahwa sah atau tidaknya suatu argumen sangat tergantung dari bentuknya (formal) bukan isinya (material). Logika dapat mendukung bahasa sebagai sarana penyampaian ide-ide manusia agar dapat dipahami dan dikomunikasikan secara lebih baik.
Bidang etika merupakan studi tentang tingkah laku manusia yang dapat dikategorikan baik atau buruk. Dalam etika persoalan yang paling mendasar terkait dengan dilema etis. Manusia selalu dihadapkan pada pilihan antara yang baik dengan yang lebih baik, yang buruk dengan yang kurang buruk. Segala putusan tindakan manusiaharus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Bertens (1992: 42) dalam artikelnya Mengajar Filsafat: Apa Gunanya? Menyebutkan lima alasan pentingnya mempelajari filasfat.
- Membantu dan memperluas pandangan calon sarjana untuk melihat di luar tembok ilmu pengetahuan yang ditekuninya;
- Membantu mahasiswa agar berfikirkritis dan menganalisis masalah dengan tajam;
- Mempermudah calon sarjana untuk mengungkapkan pemikirannya dengan jelas dan tepat;
- Mengerti lebih mendalam dunia dimana kita hidup;
- Studi etika pada khususnya dapat menanamkan kesadaran etis dalam jiwa calon sarjana.
KECENDERUNGAN HUMANIORA DEWASA INI
Perkembangan ilmu-ilmu humaniora dalam tiga dasawarsa terakhir di Indonesia belum menampakkan hasil yang optimal. Hal ini terlihat dari beberapa aspek sebagai berikut.
- Masih kuatnya pengaruh positivistik dalam dunia akademis, sehingga ukuran ilmiah selalu diperlakukan seragam (uniformitas), yakni eksak, terukur,, dan bermanfaat. Ilmu-ilmu sosial dan humanioraharus mau mengalah terhadapkriteria ilmiah kalau tidak ingin dianggap sebagai aktivitas nir-ilmiah. Aktivitas jiwa seperti: emosi, perasaan, pikiran, kesadaran harus dapat diukur (kuantitatif) agar memenuhi persyaratan ilmiah sebagaimana yang dicanangkan kaum positivist. Dalam dunia filsafat, munculnya positivisme logisyang berlatarbelakang Lingkungan Wina dipandang sebagai tumbuhnya kesadaran baru tentang pentingnya dimensi metodologis. A.J. Ayer (1952: 4) dalam karyanya Laguage, Truth, and Logic menegaskan bahwa pernyataan filosofis baru dapat dikatakan ilmiah manakala memenuhi kriteria proposisi empirik dan proposisi analitik. Prinsip verifikasi merupakan ukuran yang dapat membuktikan apakah sebuah pertanyaan itu bermakna (meaningfull) ataukah nir-makna (meaningless);
- Penomorduaan terhadap ilmu-ilmu humaniora dalam berbagai aktivitas ilmiah bahkan dalam bentuk pengakuan ataupun opini masyarakat. Orang tua lebih bangga anaknya kuliah di fakultas-fakultas eksak daripada fakultas-fakultas humaniora. Dalam kenyataannya lulusan fakultas-fakultas eksak lebih mudah mencari pekerjaan karena kualifikasi yang diinginkan oleh pasar mengarah pada kriterian seperti itu;
- Gagap teknologi (gaptek) dipandang lebih memalukan daripada gagap budaya (gaya) dan gagap kemanusiaan (gamas). Individu yang tidak mengikuti perkembang teknologi mutakhir dipandang ketinggalan zaman. Teknologi telah melahirkan peradaban yang maju dalam ukuran lahiriah. Para filsuf Eksitensialist umumnya membedakan istilah culture dengan civilization. Yang pertama lebih mengacu pada aspek lahiriah. Gagap budaya (gaya) terlihat dalam kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan alam pemikiran atau gagasan yang berkembang dalam kehidupan modern. Gagap kemanusiaan (gamas) terlihat pada sikap meremehkan dan tidak peduli dengan nasib manusia lainnya. Khusus yang terakhir ini yang sedang melanda indonesia dalam bentuk munculnya berbagai kerusuhan yang banyak menelan korban manusia, masalah pengungsi dan lain sebagainya. Namun kurangnya penanganan yang menyeluruh terhadap problem kemanusiaan tersebut Jurnal Filsafat, Desember 2003, Jilid 35, Nomor 3 216 menjadikan gagap kemanusiaan (gamas) pada sebagian besar masyarakat kita;
- Adanya rasa rendah diri yang menghinggapi kalangan ilmuan di bidang humaniora itu sendiri, sehingga lemahnya semangat kompetitif dalam pengembangan ilmu. Kemanjuan pesat di bidang teknologi direaksi lamban oleh ilmu-ilmu humaniora, sehingga dampak negatif teknologi sudah merambah kemana-mana tanpa dapat dicegah, sehingga pada akhirnya merugikan umat manusia. Sikap kritis ilmu humaniora belum mampu memprediksi secara lebih dini kemungkinan yang akan terjadi akibat kemajuan iptek.
PENUTUP
Kelemahan pengembangan ilmu humaniora di Indonesia cenderung disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.
- Sumber daya manusia yang menggeluti bidang humaniora kurang serius dan menjadikan bidang humaniora sebagai aktivitas sambilan yang tidak dihayati dan direfleksikan secara total;
- Rendahnya dukungan pemerintah terhadap riset atau penelitian ilmu humaniora berupa alokasi dana yang tidak seimbang dibanding dengan ilmu eksak, terlebih bidang teknologi;
- Lemahnya aspek metodologi yang dikuasai pada empu ilmu humaniora menjadikan hasil penelitian kurang mengena pada sasaran. Alhasil para empu humaniora kurang mampu melakukan prediksi terhadap fenomena yang berkembang di masyarakat.
- Tidak ditempatkannya ilmu humaniora sebagai mitra dialog ataupun mitra riset yang disiplin ilmu eksak atau teknologi, sehingga pemahaman atau kasus yang menyangkut manusia cenderung bersifat parsialistik.
0 komentar:
Posting Komentar